La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum
epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis
dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading,
seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo
bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan
peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap
memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum
abad ke-14.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di
perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk
Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga
600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di
yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.
Isi hikayat La Galigo
Epik
ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk
kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu
musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan
Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak
lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan
memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan
sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib.
Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus
melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah
itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang
wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru
kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara
Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La
Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak
perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan
bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia
tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia
mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan
kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan
beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga.
Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We
Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang
perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah
Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa
Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan
Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia
juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut
Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan
rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh
seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya
berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar
Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang
kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada
bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai
negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi
epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai
Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu.
Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal
besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan
muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para
bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut
pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat
disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah
pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak
berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan
bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk
merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab.
Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
La Galigo di Sulawesi Tengah
Nama
Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini
membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan
purba Bugis yaitu Luwu'.
Sawerigading dan anaknya I La Galigo
bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi
lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang
digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo,
seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu
menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan
dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga
Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam.
Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya
peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang
berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila
mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan
hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga,
Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya,
Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak
tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi
daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La
Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia
mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan
Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah
dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari
ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili
Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti
adalah sekeluarga.
Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu
Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda
muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang
menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading.
Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat
Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di
Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan,
pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau
kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo
Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading.
Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama
berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama
Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam
kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang
tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We
Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau
Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara
nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan
nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo.
Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia
Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
La Galigo di Gorontalo
Legenda
Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan
pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari
kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat
kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade
datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang
terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah
menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu
bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa
negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu.
Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin
pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke
Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan
saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat
juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan
Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah
Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan
akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis
Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar
Lasandenpapang.
La Galigo di Malaysia dan Riau
Kisah
Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di
Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang
bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap
sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur
Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang
disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera
pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan
beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan
yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa
pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian
Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'.
Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan
sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan
banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya,
serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani.
Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala
sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo',
menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga
ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut
oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting
dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga
turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan,
kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam
sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng
Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga
ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu
Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella'
(menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada
abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung
cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat
perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita
adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita
mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La
Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi,
sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'.
Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu
Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam
La Galigo.
La Galigo dalam Seni Pentas
La Galigo sudah
diadaptasi ke dalam seni pentas oleh sutradara Robert Wilson setelah
diadaptasi oleh Rhoda Grauer. Penata suara adalah Rahayu Supanggah.
Bissu Puang Matoa Saidi turut berpartisipasi dalam produksi ini
Rabu, 01 Agustus 2012
I La Galigo (Sure'/Kitab La Galigo)
12.35
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar